YESUS BENAR-BENAR MANUSIA DAN ANAK ALLAH
Kerap kali setiap Paskah
ditayangkan film garapan Mel Gibson: The
Passion of Christ.
Menurut saya film ini sangat mendekati kondisi sebenarnya sebab secara keilmuan
saya mempelajari tentang luka, siksaan dan rasa sakit. Oleh karena itu saya
tidak dapat membayangkan rasa sakit yang diderita Yesus. Tulisan ini tidak
bertujuan membangkitkan emosi kita dalam menilai sengsara Yesus tetapi
memberikan wawasan supaya kita makin menghayati penderitaan Yesus demi kita.
Doa Yesus di Getsemani
sebelum ditangkap oleh imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi menunjukkan
begitu seriusnya sengsara yang akan dialami-Nya. Yesus begitu ketakutan, sedih
dan gentar menghadapi sengsara ini hingga peluhnya seperti titik darah (Luk.
22:44). Kondisi ini disebut hematidrosis atau hemihidrosis – pembuluh
darah kulit pecah karena tekanan emosi dan perasaan akan derita dan disalibkan,
akibatnya keringat-Nya bercampur dengan darah. Ketakutan Yesus membuktikan Ia
manusia biasa, manusia mana tidak gentar jika mengetahui bahwa dia akan mati
dengan cara keji dan sangat menyakitkan. Sebagai manusia Yesus merasa tidak
sanggup menanggung sengsara ini, itu sebabnya Dia memohon kepada Allah Bapa
kalau boleh dijauhkan dari sengsara ini (Mat. 26:37-39, Mrk. 14:33-36, Luk.
22:41-44).
Awal sengsara Yesus dimulai
di pagi hari sesudah malam sebelumnya Dia ditangkap di Taman Getsemani.
Imam-imam kepala bersepakat membelenggu-Nya dan menyerahkan kepada Pilatus. Dalam
proses itu Yesus tidak tidur dan tidak makan sehingga ketika harus berjalan
menuju tempat Pilatus kondisi tubuhnya sudah melemah.
Mulailah Yesus mengalami
siksaan disesah, ditampar dan diolok-olok (Mat. 27:26-29, Mrk. 15: 15-17, Luk.
23:11, Yoh. 18:22; 19:1-3). Kata disesah berarti dipukul dengan sesuatu yang
melenting. Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa benda yang digunakan untuk
menyesah Yesus adalah cambuk (flagellum).
Dalam
tradisi Yahudi flagellum adalah cambuk dari kulit yang memiliki mata
cambuk, ujungnya terurai dan masing-masing ujung diberi pemberat dan kaitan
seperti logam, kaca atau tulang. Dengan cambuk seperti ini, cambukan pertama
akan menimbulkan memar dan lebam pada kulit. Cambukan berikutnya akan melukai
pembuluh darah kapiler di bawah kulit sehingga terjadi perdarahan.
Cambukan-cambukan berikutnya dapat merobek, mencerabut kulit hingga mengoyak
otot, menimbulkan luka luar biasa sakitnya dan akan banyak kehilangan darah.
Disebutkan pula Yesus tak berbaju dan tangannya terikat ketika Ia dicambuk di
bagian pundak, punggung hingga tungkai kaki. Setelah dicambuk, Dia kembali
diberi pakaian dan banyaknya darah yang keluar dari bilur-bilur Yesus melekat
serta mengering pada pakaian-Nya.
Yesus juga diolok, ditinju
dan dipukul berkali-kali menggunakan buluh. Pukulan, tinju dan tamparan pada
kepala-Nya membuat luka pada wajah dan kepala. Salah satu bentuk olok-olokan
adalah dengan memberi ‘julukan’ kepada setiap penjahat (dalam hal ini Ia
terhitung sebagai ‘penjahat’). Yesus dijuluki ‘raja orang Yahudi’. Kita tidak
tahu berapa kali Dia dicambuk, ditinju dan ditampar dan tidak tahu luka apa
saja yang terdapat di wajah-Nya akibat tinjuan dan pukulan serta tamparan
tersebut. Namun kita dapat memperhitungkan betapa hebat rasa sakit yang ditimbulkan
dari luka-luka ini.
Tak ketinggalan pula Yesus
diberi mahkota duri yang dianyam dari semak Paliurus Spina – semak berduri panjang yang tumbuh di Israel. Mahkota
duri ini ditancapkan ke kepala masuk kulit kepala yang banyak dialiri oleh
pembuluh darah hingga mengeluarkan banyak darah. Ingat, Yesus memberikan kita
banyak mahkota kebaikan kecuali mahkota duri. Hanya Dia sendiri yang menanggung
derita akibat mahkota duri demi kita. Betapa sakitnya seluruh tubuh Yesus mulai
kepala hingga kaki – bukti kasih-Nya yang tak terbatas.
Akhirnya Yesus didakwa dan
diputuskan mendapat hukuman mati dengan cara disalibkan dan Dia sendiri yang
harus memikul salib menuju bukit Golgota. Tradisi bangsa Yahudi waktu itu ialah
setiap terdakwa kriminal yang diputuskan untuk disalib harus membawa sendiri
salibnya keluar tembok Yerusalem menuju tempat penyaliban. Selain itu bajunya
akan dibuang undi; jadi, tanpa baju orang yang disalib akan menjadi kedinginan
dan mati perlahan. Pada masa pemerintahan Romawi, tubuh mereka yang mati
tersalib dibiarkan tergantung hingga menjadi makanan burung pemakan bangkai.
Ketika Yesus harus memikul
sendiri salib-Nya, Dia sudah tidak sanggup lagi karena tubuh-Nya terlalu banyak
kehilangan darah hingga kekuatan tubuh-Nya melemah sekalipun saat itu Dia baru
berusia 33 tahun. Semuda-mudanya dan sekuat-kuatnya tubuh jika terlalu banyak
kehilangan darah pasti akan melemah. Ini bukti bahwa Yesus benar-benar manusia
yang dapat merasakan sakitnya luka-luka akibat siksaan dan juga sakitnya hati akibat
diolok-olok dan diludahi. Dengan kata lain, Yesus dapat merasakan penderitaan
kita juga.
Selama perjalanan menuju
bukit Tengkorak, Yesus beberapa kali terjatuh karena tubuh-Nya sudah sangat
lemah akibat kehilangan banyak darah. Selain itu tekanan kayu salib yang kasar
mengorek dan menggesek-gesek luka yang sudah tertutup benang fibrinogen
(mengering) berakibat menimbulkan luka lagi. Karena Dia tidak kuat lagi
memanggul kayu salib, Simon dari Kirene dipaksa untuk memikul salib Yesus (Mat.
27:32, Mrk. 15:21, Luk. 23:26).
Penderitaan berlanjut pada
proses penyaliban. Bangsa Yahudi mempunyai tradisi bahwa penyaliban dimaksudkan
untuk menyiksa kriminal hingga ia mati secara perlahan – proses
kematian yang sangat menyakitkan. Menurut literatur tangan Yesus dipaku di
bagian per-gelangan supaya tangan tidak
mudah terobek. Dipaku di pergelangan tangan menyebabkan rusaknya persarafan
tangan hingga menimbulkan rasa sakit dan kram. Tangan-Nya yang terpaku direntangkan untuk menyangga tubuh
bersama dengan kaki-Nya yang terpaku. Kaki Yesus dipaku saling menumpuk,
tungkai menjadi agak condong ke depan (flexi) – posisi kaki tidak tegak lurus –
sehingga makin menambah beban tubuh pada kaki. Juga posisi salib didirikan
tegak lurus maka seluruh berat tubuh akan melorot dan tertahan pada kaki. Di
sinilah penderitaan Yesus semakin hebat.
Beberapa saat setelah
penyaliban, nyeri pada tangan akan semakin hebat dan menjalar hingga lengan.
Demikian pula paku yang menembus kaki (metatarsal) menyerang saraf menimbulkan
rasa sakit luar biasa. Rasa sakit ini menjalar menimbulkan kejang pada
lengan dan menyerang otot dada (m. pectoral dan m. intercostals) hingga
udara hanya dapat dihirup tetapi tidak dapat diembuskan. Dalam kondisi seperti
ini Yesus harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menarik tubuh-Nya agar dapat
bernapas. Konsekuensinya, rasa sakit di kaki bertambah hebat karena terdorong
ketika mengangkat tubuh ditambah dengan luka-luka di punggung kembali tergores
oleh permukaan kayu salib yang kasar.
Yesus memandang prajurit yang
membuang undi atas jubah-Nya dan mendengar olok-olokan mereka yang berada di
sekitar-Nya. Namun dengan kasih dan kekuatan luar biasa, di tengah rasa sakit
yang sangat hebat, Yesus sempat mengucapkan tujuh kalimat selama enam jam masa
penderitaan di kayu salib.
(1) "Ya Bapa, ampunilah mereka sebab
mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat." (Luk. 23:34; Yoh. 19:23-24) ketika melihat
prajurit membuang undi untuk membagi pakaian-Nya;
(2) "Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama
dengan Aku di dalam Firdaus." (Luk. 23:43) kepada salah satu penjahat
yang menyesal dan bertobat;
(3) "Ibu,
inilah, anakmu!" ketika Dia melihat ibu-Nya dan murid yang
dikasihi-Nya di sampingnya dan "Inilah ibumu!" kata-Nya kepada
murid-murid-Nya ((Yoh. 19:25-27);
(4) "Eli,
Eli, lama sabakhtani?" artinya “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau
meninggalkan Aku?” (Mat. 27: 45-46; Mrk 15:33-34) seru-Nya kepada Bapa-Nya
kira-kira pukul tiga;
(5) “Aku
haus” (Yoh. 19:28) karena kehilangan banyak cairan tubuh yang membuat-Nya
haus, jantung-Nya bekerja ekstra keras untuk dapat memenuhi kebutuhan ini. Para
prajurit memberikan-Nya anggur asam. Dalam tradisi pembuatan anggur di Israel,
anggur asam adalah anggur murah karena terbuat dari buah anggur yang belum
masak, biasa dikonsumsi oleh orang-orang yang tidak mampu;
(6) "Sudah
selesai." (Yoh. 19:30) karena Dia tahu bahwa waktunya sudah dekat.
Tubuh-Nya sampai pada titik kritis ketika seluruh jaringan tubuh tidak lagi
mampu menahan siksaan;
(7) “Ya
Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku.” (Luk. 23:46) sebagai
kata-kata terakhir Yesus sambil mengambil napas melawan semua rasa sakit untuk
dapat menyeru kepada Allah Bapa. Konsekuensinya, tubuh-Nya terangkat berarti
sakit luar biasa di kaki dan tangan.
Secara
logika, seharusnya seorang dengan penderitaan demikian hebat tidak mungkin
mampu berseru dengan nyaring karena gagal napas akibat kejang di dada dan
lengan atas. Sungguh tiada kasih yang setara dengan Dia!
Kematian Yesus diiringi gempa
bumi luar biasa; hal ini membuat kepala prajurit mengaku bahwa Yesus adalah
orang benar dan semua orang yang menonton di tempat penyaliban pulang sambil
memukul-mukul dirinya. Kepala prajurit dan prajurit-prajurit mengaku bahwa Dia
benar-benar Anak Allah.
Untuk memastikan kematian
Yesus, prajurit menusuk lambung-Nya melalui rusuk 5-6 hingga menembus ruang
toraks (pericardium) menusuk ke jantung maka keluarlah air dan darah. Beberapa
literatur menyebutkan bahwa air dan darah yang memenuhi pericardium adalah
konsekuensi dari tekanan rasa sakit hingga cairan ini menekan jantung berakibat
pada gagal jantung. Menurut tradisi, untuk mempercepat kematian orang yang
disalibkan, prajurit akan mematahkan
kakinya sehingga tubuh merosot ke bawah; dengan demikian kejang otot lengan
atas dan otot dada memperparah asfiksia (susah napas). Hal ini tidak dilakukan
pada Yesus karena Yesus sudah mati maka genaplah nubuatan yang tertulis pada
Injil Yohanes 19:36.
Dalam tradisi penguburan
Yahudi, tidak boleh ada mayat yang tidak terkuburkan apalagi tergantung di
salib karena mereka sangat menghargai orang mati. Hal ini dapat kita temui pada
kisah Abraham dalam penguburan Sara (Kej. 23: 4-19); peristiwa kematian Yakub
(Kej. 50: 4-14); kematian Yohanes Pembaptis (Mrk. 6:29); orang-orang jahat yang
dihukum mati (Ul. 21:22-23); bahkan musuh yang kalah perang (Yeh. 39: 11-16).
Hanya karena pemerintahan Romawi pada peristiwa penyaliban Yesus maka mayat
boleh tergantung. Karena hari kematian Yesus menjelang persiapan hari Sabat,
semua mayat seharusnya dikuburkan. Untuk itu Yusuf Arimatea dan Nikodemus
meminta Pilatus untuk memberikan mayat Yesus supaya dapat dikafani dan
dikuburkan (Mat. 27:57-59, Mrk. 15: 42-46, Luk. 23: 50-54; Yoh. 19: 38-42).
Secara manusia, dengan
matinya Yesus selesailah penderitaan yang ditanggung-Nya tetapi makna kematian itu adalah keselamatan bagi
kita. Sungguh Yesus sangat menderita bagi kita, bahkan Yesaya pun sudah
menubuatkan hal itu dengan sangat jelas.
“…Sebagai
taruk Ia tumbuh di hadapan TUHAN dan
sebagai tunas dari tanah kering.
Ia tidak tampan dan semaraknya pun tidak ada sehingga
kita memandang Dia,
dan rupa pun tidak sehingga kita menginginkan-Nya.
Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh
kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; Ia sangat dihina sehingga orang menutup mukanya terhadap Dia dan bagi kita pun Dia tidak masuk hitungan.
Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggung-Nya dan kesengsaraan kita yang dipikul-Nya padahal kita mengira DIa kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.
Tetapi Dia
tertikam oleh karena pemberontakan kita, Dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang
mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepada-Nya dan oleh bilur-bilur-Nya kita menjadi sembuh.
…..Dia dianiaya
tetapi membiarkan diri ditindas dan tidak membuka mulut-Nya seperti anak domba yang dibawa ke pembantaian; seperti
induk domba yang kelu di depan orang-orang yang menggunting bulunya, Ia tidak membuka mulut-Nya.
…Orang menempatkan
kubur-Nya di antara orang-orang
fasik dan dalam mati-Nya Ia ada di antara penjahat-penjahat sekalipun Ia tidak berbuat kekerasan dan tipu tidak ada dalam mulut-Nya. Tetapi TUHAN berkehendak meremukkan Dia dengan kesakitan…..”
(Yes.
53:1-12)
Terima kasih Tuhan Yesus
untuk semua pengurbanan-Mu. (Dr. Toetik Koesbardiati)
Referensi:
- Craig A. Evans, t.t. Jewish
Burial Tradition and Resurrection of Jesus
- Dr. Truman Davis, t.t. A
Physician Testifies about Cruxificion
- Pdt. Paul Gunadi, t.t. Penderitaan Kristus di Kayu Salib
Naskah diambil dari Warta Mingguan GPT "Gereja Kristus Gembala-Ajaib", Jl. Johor 47 Surabaya, Edisi ke 314, 24 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar